Senin, 07 Desember 2009

solusi mencegah polusi udara

Kelestarian lingkungan hidup menjadi perhatian utama negara-negara di dunia saat ini. Isu lingkungan hidup dan pemanasan global memang menjadi fokus perhatian di banyak negara. Pasalnya emisi gas buang kendaraan bermotor menghasilkan beberapa jenis zat yang berbahaya bagi kesehatan manusia, seperti karbon monoksida (CO), oksida sulfur (SOx) dan oksida nitrogen (Nox). Peraturan yang lebih ketat akan emisi gas buang kendaraan pun diluncurkan guna menciptakan dunia yang sehat. Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia telah mengeluarkan beberapa regulasi dalam hal ini keputusan menteri yang berkaitan tentang baku mutu emisi di tanah air. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP-35/MENLH/10/1993 tentang ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor, kandungan CO pada mobil ditentukan maksimum 4,5 persen dan 3.000 ppm untuk HC (hidrokarbon)

Bandung sebagai salah satu kota hijau di Indonesia pun tak luput dari kejaran polusi. Ir. Puji Lestari, ahli polusi udara dari Departemen Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB mengatakan, kondisi polusi udara di Kota Bandung kian hari memang kian buruk. Hasil pengukuran tahun 2005 di beberapa ruas jalan menunjukkan kadar polutannya sudah melewati nilai ambang batas. Hasil pengukuran di Jln. Asia Afrika menunjukkan kadar CO 8-12 ppm dan NOx 0,03 – 0,075 ppm. Di Jln. Merdeka, CO mencapai 8,2-14,7 ppm dan NOx 0,03-0,11 ppm. Padahal, batas konsentrasi karbon monoksida (CO) adalah 9 ppm dan oksida nitrogen (NOx) 0,05 ppm. Pada penelitian lainnya yang bertajuk “Emission Inventory 2005″ yang dilakukan Puji bersama beberapa rekannya, ditemukan bahwa total emission loading di Kota Bandung untuk CO adalah 185.476,4 ton/tahun, NOx 12. 226,4 ton/tahun, SOx 993,2 ton/tahun, HC 26.283,3 ton/tahun dan PM 10 (partikel debu berukuran kurang dari 10 mikron) 1.112,9 ton/tahun. Angka yang sungguh mengerikan mengingat udara kota semacam itulah yang kita hirup setiap saat. Penelitian itu menyimpulkan bahwa penyumbang polutan CO terbesar bagi Kota Bandung berasal dari kendaraan pribadi, motor, dan angkutan umum. Untuk NOx paling banyak berasal dari kendaraan pribadi, angkutan ringan, dan motor. Polutan hidrokarbon (HC) paling banyak disumbang oleh kendaraan pribadi dan motor. Sementara untuk partikel debu yang berukuran kurang dari 10 mikron banyak berasal dari kendaraan pribadi, angkutan umum, dan motor. Dari penelitian yang dilakukan di Kota Bandung, Kab. Bandung, Kota Cimahi, dan Kab. Sumedang, juga disimpulkan bahwa polusi udara Kota Bandung yang tertinggi. Polusi udara ini diakibatkan oleh gas buang hasil pembakaran bahan bakar yang terjadi pada mesin untuk menghasilkan energi gerak bagi kendaraan.

Pada prinsipnya, setiap pembakaran kendaraan akan menghasilkan CO2 (sebagai sampah) dan O2 terpakai (sebagai pembakar). Dalam pembakaran yang sempurna, CO2 harus tinggi dan O2 rendah. CO2 merupakan indikasi dari tingkat efisiensi pembakaran mesin bensin. Pada mesin mobil generasi lama, pencampuran bahan bakar dengan udara diproses oleh karburator. Kelemahan mesin kendaraan karburator, akurasi campuran (bahan bakar dan udara) umumnya rendah karena kondisi permukaan bahan bakar dalam float chamber carburator mempengaruhi rasio campurannya. Sementara pada mesin kendaraan modern sudah menggunakan sistem injeksi, yaitu menggunakan manajemen EFI (electronic fuel injection) atau ECI-Multi (multi-point fuel injection). ECI-Multi atau EFI bekerja secara computerized dalam mengatur campuran bahan bakar dengan udara atas informasi dari beberapa sensor, mengatur saat pembakaran (ignition timing) dan tepat di setiap RPM (putaran mesin per menit). Kendaraan yang menggunakan mesin EFI juga mampu mengoreksi emisi gas buang dengan perangkat EGR (exhaust gas recyrculating). Selain penemuan terbaru pada sistem pembakaran, saat ini pula dikembangkan sarana transportasi mobil hibrida yang hemat energi. Lahirnya konsep mobil hibrida bertujuan untuk mengendalikan laju penggunaan bahan bakar minyak (BBM) yang menghasilkan gas CO2. Gas buangan hasil pembakaran kendaraan bermotor memberikan kontribusi 20% dari total gas buangan pemakai energi fosil. Kondisi ini memberikan pengaruh terhadap kerusakan lingkungan. Teknologi mobil hibrida ini sangat diharapkan karena memiliki efek berkurangnya emisi CO2 ke lingkungan. Teknologi hibrida ini sebagaimana namanya, adalah sebuah teknologi yang mencangkok atau menggabungkan dua sumber energi mobil dari BBM dan listrik yang dihasilkan dari motor elektrik. Selain itu tidak menutup kemungkinan teknologi ini adalah gabungan penggunaan energi baterei dan energi dari motor elektrik atau antara energi lainnya. Kombinasi sumber energi untuk teknologi hibrida akan mewarnai teknologi eco-car di masa datang.

Saat ini pabrikan yang memproduksi otomotif pun berinovasi menciptakan teknologi mesin ramah lingkungan, selain karena adanya tantangan regulasi yang semakin ketat. Para ahli otomotif pun melakukan terobosan inovasi untuk mengatasi masalah gas buang. Teknologinya bisa dikelompokkan menjadi tiga bagian besar, yaitu membuat mesin kendaraan dengan efisiensi tinggi, sehingga pembakaran dapat berlangsung hampir sempurna. Gas buang yang berbentuk particulate matter dapat ditekan serendah mungkin. Teknologi kedua adalah membuat bahan bakar ramah lingkungan seperti gas alam cair, hidrogen, dan listrik untuk menggerakkan kendaraan bermotor. Cara ketiga adalah dengan membuat peralatan tambahan yang dipasangkan pada saluran pembuangan kendaraan. Sistem ini berfungsi menyaring dan menetralkan gas buang hasil pembakaran di mesin. Teknologi peranti tambahan lebih populer saat ini dan banyak diadopsi oleh pabrikan. Alatnya dinamakan sebagai katalitik konverter yang mengubah zat berbahaya tersebut melalui reaksi kimia menjadi gas yang lebih ramah lingkungan. Mesin EFI, perangkat EGR, dan mobil hibrida menurut penjelasan di atas adalah penerapan dari inovasi teknologi yang dilakukan oleh para ahli otomotif.

Selama ini, sebagian masyarakat memandang bahwa asap hitam yang keluar dari knalpot kendaraan dengan bahan bakar solar membahayakan dan mencemari udara. Misalnya, asap kendaraan dari bus-bus kota atau metromini di Jakarta. Anggapan seperti itu tidak keliru karena asap hitam itu, paling mudah dilihat mata sehingga siapa pun akan menilai bahwa itu merupakan pencemaran udara. Akan tetapi, sebenarnya yang lebih membahayakan kesehatan manusia adalah gas buang dari kendaraan dengan bahan bakar bensin yang sistem pembakaran mesinnya sudah rusak. Sistem pembakaran yang tidak sempurna pada mobil diesel bisa dengan mudah kelihatan, sebaliknya pada kendaraan yang menggunakan bahan bakar bensin sistem pembakaran yang tak sempurna tidak kelihatan sehingga kalau sudah melebihi ambang batas bisa mematikan manusia. Oleh karena itu, orang-orang yang banyak bekerja di jalanan umum, seperti petugas polisi atau petugas kebersihan, hendaknya selalu menggunakan masker. Mencegah polusi memang bukan perkara mudah, tetapi alangkah baiknya kalau sumber pencemaran udara bisa ditekan. Oleh karena itu, dibutuhkan kepedulian dan kesadaran dari semua pemilik kendaraan untuk selalu menjaga emisi gas buang.

Read more...

Mencegah Kebakaran Hutan

Musim kemarau yang berkepanjangan sering membawa berbagai dampak, baik positif maupun negatif. Keduanya bagai dua sisi mata uang yang berbeda namun sulit dipisahkan. Dampak positif yang ditimbulkannya harus diambil manfaatnya secara maksimal. Sementara dampak negatif harus diantisipasi dan ditanggulangi dengan bijaksana.
Jika kita belajar dari kejadian masa lalu, periode sekarang ini banyak memunculkan peristiwa yang memilukan bagi eksistensi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Misalnya kebakaran hutan. Kebakaran hutan yang selama ini terjadi dan menimbulkan bahaya kabut asap, telah menimbulkan banyak persoalan beruntun. Misalnya menggejalanya penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) bagi masyarakat di sekitar hutan yang terbakar.
Tidak hanya menyengsarakan masyarakat dalam negeri, problema ini juga meresahkan negara-negara tetangga. Ketika itu, negara-negara telah mendesak agar Indonesia untuk sesegera mungkin menangani bahaya kabut asap yang muncul setiap tahun dengan memberantas pembakaran hutan. Organisasi bangsa-bangsa di Asia Tenggara (ASEAN) pun telah berulangkali mengingatkan agar polusi akibat kabut asap yang telah mengganggu perekonomian dan membuat turis lari supaya dituntaskan.
Masalah kabut asap telah menjadi problema regional. Telah berulangkali seruan agar kebakaran hutan supaya dapat diminimalisir, akan tetap hasilnya tak kunjung membawa perubahan nyata. Problema ini terus berulang dan berulang lagi. Disinilah diperlukan upaya serius dari pemerintah dan masyarakat luas, khususnya dalam pengelolaan lingkungan.
Bahkan di siang hari pun, cuaca sepertinya mendung, namun udara terasa sangat panas. Ini tentunya suatu kondisi yang tak lazim. Sebuah kondisi yang sangat meresahkan masyarakat, khususnya mereka yang memiliki riwayat kesehatan yang sangat sensitif bagi udara kotor.
Memang munculnya kabut asap ini juga dipengaruhi oleh musim kemarau yang berkepanjangan. Akan tetapi pengaruh kebakaran hutan menempati porsi yang sangat besar. Untuk itu, jika ingin segera dapat mengatasinya, tentunya kebakaran hutan harus dapat diminimalisir. Jika tidak, bukan tidak mungkin kabut asap ini akan menimbulkan permasalahan bagi aktifitas kehidupan manusia, termasuk keselamatan dan kesehatan jiwanya.
Kecelakaan lalu lintas akibat pendeknya jarak pandang, penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (Ispa) khususnya pada anak-anak akibat buruknya kondisi udara, dan bahkan akan mengganggu jalur penerbangan. Seperti yang diprediksi para pengamat lingkungan, kabut asap ini juga akan bertambah dalam beberapa hari ke depan. Itu artinya, tindakan dini untuk mengatasinya harus digalakkan. Disnilah dituntut kearifan kita bersama.
Untuk itulah, kita berharap ada solusi yang bijaksana untuk mengatasi masalah ini. Jika tidak ingin dampak lanjutan, yang jauh lebih parah akan terjadi. Dalam konteks inilah, menjadi sangat perlu membumikan adagium kesehatan dimana “mencegah lebih baik dari pada mengobati”. Janganlah setelah dampaknya yang ditimbulkannya semakin luas dan besar, kita kemudian menjadi amat sibuk dan pontang-panting. Kita harus belajar dari kesalahan-kesalahan yang terjadi dimasa lampau. Bahaya kabut asap, memang harus kita cegah sedini mungkin.
Selama ini, kita memang lalai dalam melestarikan dan mengelola lingkungan. Sering sekali kita serakah untuk memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia. Kepentingan ekonomi sering pula membelenggu kelestarian lingkungan. Dengan bercermin dengan banyaknya bencana alam, termasuk kabut asap, maka selayaknya kita mau berubah untuk lebih menghargai kelestarian alam. Alam jangan di eksploitasi, tetapi dilestarikan untuk dimanfaatkan.
Satu hal yang perlu digalakkan adalah perubahan paradigma dalam pengelolaan lingkungan. Pengelolaan lingkungan yang berbasiskan kelestarian dan keabadiannya harus tetap menjadi pokok perhatian. Disamping itu, penggunaan tekhnologi (khususnya tehknologi pertanian) baru dalam pembukaan lahan baru. Harus kita akui bahwa selama ini kita memang sangat tertinggal jauh dalam pemanfaatan teknologi ini. Selama ini, dengan alasan praktis dan tanpa membutuhkan banyak dana dan tenaga, upaya-upaya konvensional selalu kita lakukan. Sekarang ini, mumpung kebakaran hutan belum sempat terjadi, maka kewaspadaan dini layak ditingkatkan. (*)

Read more...

Selasa, 03 November 2009

Pemanfaatan Limbah Hutan Menjadi Sebuah Produk Mulsa Organik

Di bidang pertanian di hutan dan lahan terdegradasi, banyak dijumpai limbah hutan berupa bagian pohon/tumbuhan sisa hasil pemanenan hutan. Limbah ini sebagian masih layak dimanfaatkan seperti untuk arang maupun produk-produk olahan yang lain berupa balok atau papan. Sedangkan ranting-ranting dan serasah seringkali diabaikan pemanfaatannya, padahal bagian-bagian ini masih dapat dimanfaatkan khususnya dalam upaya konservasi tanah dan air dengan menerapkan teknik mulsa vertikal. Teknik mulsa vertikal adalah pemanfaatan limbah hutan, baik yang berasal dari serasah gulma, cabang, ranting, batang maupun daun-daun bekas tebangan dengan memasukkannya ke dalam saluran atau alur yang dibuat menurut kontur pada bidang tanah yang diusahakan. Penerapan mulsa vertikal pada dasarnya selalu dikombinasikan dengan pembuatan guludan. Secara ekologis teknik ini terbukti dapat menurunkan laju aliran permukaan, erosi, dan kehilangan unsur hara. Namun demikian konsekuensinya adalah diperlukan biaya dalam penerapan teknik ini.

TEKNIK MULSA VERTIKAL

Konservasi tanah dan air merupakan upaya menempatkan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah (Arsyad, 1986). Salah satu teknik konservasi tanah dan air adalah teknik mulsa vertikal. Teknik mulsa vertikal adalah pemanfaatan limbah hutan yang berasal dari bagian tumbuhan atau pohon seperti serasah, gulma, cabang, ranting, batang maupun daun-daun bekas tebangan dengan cara memasukkannya ke dalam saluran atau alur yang dibuat menurut kontur pada bidang tanah yang diusahakan (Pratiwi, 2005). Penerapan mulsa vertikal pada dasarnya selalu dikombinasikan dengan pembuatan guludan.

A. Penempatan Saluran

Teknik mulsa vertikal dapat dilakukan di lahan yang baru dibuka dengan tanaman sampai berumur 3 tahun maupun di hutan tanaman dengan tanaman utama yang telah membentuk tajuk (Pratiwi 2000 dan 2001). Perbedaannya adalah, di lahan yang baru dibuka mulsa vertikal ditempatkan pada saluran dengan jarak antara 5-6 meter pada lahan dengan kelerengan >15o atau dengan jarak antara saluran 10-20 meter pada lahan dengan kelerengan <15o (Tabel 1). Sedangkan di hutan tanaman, mulsa vertikal ditempatkan di bagian hilir individu tanaman (Gambar 1 dan 2).

B. Pembuatan Saluran

Pembuatan saluran dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Saluran ditempatkan di antara pohon dengan jarak 10-20 m (kelerengan < 15o) atau 5- 6 meter (kelerengan >15o) (untuk areal baru dibuka) atau di bagian hilir individu tanaman (jika tanaman telah bertajuk).

2. Tanah digali pada jalur saluran tersebut dengan kedalaman 40-80 cm dan lebar 20-100 cm, tergantung jumlah limbah yang tersedia.

3. Tanah hasil galian dibuat guludan di bagian hulu di sepanjang saluran (jika

kemiringan lahan > 15o) atau diletakkan di bagian hilir di sepanjang saluran

(jika kemiringan < 15o).

4. Limbah dimasukan ke dalam saluran yang telah dibuat tersebut.

C. Bahan dan biaya yang diperlukan

Dari segi biaya, berdasarkan kebutuhan tenaga yang diperlukan untuk merehabilitasi hutan seluas 1 hektar dengan menggunakan teknik mulsa vertical dengan jarak antara saluran 6 meter adalah sebesar Rp 400.000,-/ha. Sedangkan untuk mulsa vertikal yang diletakkan di bagian hilir individu tanaman diperlukan biaya sebesar Rp 600.000,-/ha. Limbah hutan dalam keadaan basah yang diperlukan untuk penerapan mulsa vertikal dengan jarak antara saluran 6 meter dan mulsa vertikal yang diletakkan di bagian hilir individu tanaman untuk areal seluas 1 ha diperlukan masing-masing 250 kwintal dan 112,5 kwintal.

tulisan ini diambil dari:

http://groups.google.co.id/group/greenlifestyle/about?hl=id

Read more...

Pengolahan Limbah Plastik Dengan Metode Daur Ulang (Recycle)

Akibat dari semakin bertambahnya tingkat konsumsi masyarakat serta aktivitas lainnya maka bertambah pula buangan/limbah yang dihasilkan. Limbah/buangan yang ditimbulkan dari aktivitas dan konsumsi masyarakat sering disebut limbah domestik atau sampah. Limbah tersebut menjadi permasalahan lingkungan karena kuantitas maupun tingkat bahayanya mengganggu kehidupan makhluk hidup lainnya. Selain itu aktifitas industri yang kian meningkat tidak terlepas dari isu lingkungan. Industri selain menghasilkan produk juga menghasilkan limbah. Dan bila limbah industri ini dibuang langsung ke lingkungan akan menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan.

Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun domestik (rumah tangga, yang lebih dikenal sebagai sampah), yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis.Jenis limbah pada dasarnya memiliki dua bentuk yang umum yaitu; padat dan cair, dengan tiga prinsip pengolahan dasar teknologi pengolahan limbah;

Limbah dihasilkan pada umumnya akibat dari sebuah proses produksi yang keluar dalam bentuk %scrapt atau bahan baku yang memang sudah bisa terpakai. Dalam sebuah hukum ekologi menyatakan bahwa semua yang ada di dunia ini tidak ada yang gratis. Artinya alam sendiri mengeluarkan limbah akan tetapi limbah tersebut selalu dan akan dimanfaatkan oleh makhluk yang lain. Prinsip ini dikenal dengan prinsip Ekosistem (ekologi sistem) dimana makhluk hidup yang ada di dalam sebuah rantai pasok makanan akan menerima limbah sebagai bahan baku yang baru.

Limbah Plastik

Nama plastik mewakili ribuan bahan yang berbeda sifat fisis, mekanis, dan kimia. Secara garis besar plastik dapat digolongkan menjadi dua golongan besar, yakni plastik yang bersifat thermoplastic dan yang bersifat thermoset. Thermoplastic dapat dibentuk kembali dengan mudah dan diproses menjadi bentuk lain, sedangkan jenis thermoset bila telah mengeras tidak dapat dilunakkan kembali. Plastik yang paling umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah dalam bentuk thermoplastic.

Seiring dengan perkembangan teknologi, kebutuhan akan plastik terus meningkat. Data BPS tahun 1999 menunjukkan bahwa volume perdagangan plastik impor Indonesia, terutama polipropilena (PP) pada tahun 1995 sebesar 136.122,7 ton sedangkan pada tahun 1999 sebesar 182.523,6 ton, sehingga dalam kurun waktu tersebut terjadi peningkatan sebesar 34,15%. Jumlah tersebut diperkirakan akan terus meningkat pada tahun-tahun selanjutnya. Sebagai konsekuensinya, peningkatan limbah plastikpun tidak terelakkan. Menurut Hartono (1998) komposisi sampah atau limbah plastik yang dibuang oleh setiap rumah tangga adalah 9,3% dari total sampah rumah tangga. Di Jabotabek rata-rata setiap pabrik menghasilkan satu ton limbah plastik setiap minggunya. Jumlah tersebut akan terus bertambah, disebabkan sifat-sifat yang dimiliki plastik, antara lain tidak dapat membusuk, tidak terurai secara alami, tidak dapat menyerap air, maupun tidak dapat berkarat, dan pada akhirnya akhirnya menjadi masalah bagi lingkungan. (YBP, 1986).

Plastik juga merupakan bahan anorganik buatan yang tersusun dari bahan-bahan kimia yang cukup berahaya bagi lingkungan. Limbah daripada plastik ini sangatlah sulit untuk diuraikan secara alami. Untuk menguraikan sampah plastik itu sendiri membutuhkan kurang lebih 80 tahun agar dapat terdegradasi secara sempurna. Oleh karena itu penggunaan bahan plastik dapat dikatakan tidak bersahabat ataupun konservatif bagi lingkungan apabila digunakan tanpa menggunakan batasan tertentu. Sedangkan di dalam kehidupan sehari-hari, khususnya kita yang berada di Indonesia,penggunaan bahan plastik bisa kita temukan di hampir seluruh aktivitas hidup kita. Padahal apabila kita sadar, kita mampu berbuat lebih untuk hal ini yaitu dengan menggunakan kembali (reuse) kantung plastik yang disimpan di rumah. Dengan demikian secara tidak langsung kita telah mengurangi limbah plastik yang dapat terbuang percuma setelah digunakan (reduce). Atau bahkan lebih bagus lagi jika kita dapat mendaur ulang plastik menjadi sesuatu yang lebih berguna (recycle). Bayangkan saja jika kita berbelanja makanan di warung tiga kali sehari berarti dalam satu bulan satu orang dapat menggunakan 90 kantung plastik yang seringkali dibuang begitu saja. Jika setengah penduduk Indonesia melakukan hal itu maka akan terkumpul 90×125 juta=11250 juta kantung plastik yang mencemari lingkungan. Berbeda jika kondisi berjalan sebaliknya yaitu dengan penghematan kita dapat menekan hingga nyaris 90% dari total sampah yang terbuang percuma. Namun fenomena yang terjadi adalah penduduk Indonesia yang masih malu jika membawa kantung plastik kemana-mana. Untuk informasi saja bahwa di supermarket negara China, setiap pengunjung diwajibkan membawa kantung plastik sendiri dan apabila tidak membawa maka akan dikenakan biaya tambahan atas plastik yang dikeluarkan pihak supermarket.

Pengelolaan Limbah Plastik Dengan Metode Recycle (Daur Ulang)

Pemanfaatan limbah plastik merupakan upaya menekan pembuangan plastik seminimal mungkin dan dalam batas tertentu menghemat sumber daya dan mengurangi ketergantungan bahan baku impor. Pemanfaatan limbah plastik dapat dilakukan dengan pemakaian kembali (reuse) maupun daur ulang (recycle). Di Indonesia, pemanfaatan limbah plastik dalam skala rumah tangga umumnya adalah dengan pemakaian kembali dengan keperluan yang berbeda, misalnya tempat cat yang terbuat dari plastik digunakan untuk pot atau ember. Sisi jelek pemakaian kembali, terutama dalam bentuk kemasan adalah sering digunakan untuk pemalsuan produk seperti yang seringkali terjadi di kota-kota besar (Syafitrie, 2001).

Pemanfaatan limbah plastik dengan cara daur ulang umumnya dilakukan oleh industri. Secara umum terdapat empat persyaratan agar suatu limbah plastik dapat diproses oleh suatu industri, antara lain limbah harus dalam bentuk tertentu sesuai kebutuhan (biji, pellet, serbuk, pecahan), limbah harus homogen, tidak terkontaminasi, serta diupayakan tidak teroksidasi. Untuk mengatasi masalah tersebut, sebelum digunakan limbah plastik diproses melalui tahapan sederhana, yaitu pemisahan, pemotongan, pencucian, dan penghilangan zat-zat seperti besi dan sebagainya (Sasse et al.,1995).

Terdapat hal yang menguntungkan dalam pemanfaatan limbah plastik di Indonesia dibandingkan negara maju. Hal ini dimungkinkan karena pemisahan secara manual yang dianggap tidak mungkin dilakukan di negara maju, dapat dilakukan di Indonesia yang mempunyai tenaga kerja melimpah sehingga pemisahan tidak perlu dilakukan dengan peralatan canggih yang memerlukan biaya tinggi. Kondisi ini memungkinkan berkembangnya industri daur ulang plastik di Indonesia (Syafitrie, 2001).

Pemanfaatan plastik daur ulang dalam pembuatan kembali barang-barang plastik telah berkembang pesat. Hampir seluruh jenis limbah plastik (80%) dapat diproses kembali menjadi barang semula walaupun harus dilakukan pencampuran dengan bahan baku baru dan additive untuk meningkatkan kualitas (Syafitrie, 2001). Menurut Hartono (1998) empat jenis limbah plastik yang populer dan laku di pasaran yaitu polietilena (PE), High Density Polyethylene (HDPE), polipropilena (PP), dan asoi.

Plastik Daur Ulang Sebagai Matriks

Di Indonesia, plastik daur ulang sebagian besar dimanfaatkan kembali sebagai produk semula dengan kualitas yang lebih rendah. Pemanfaatan plastik daur ulang sebagai bahan konstruksi masih sangat jarang ditemui. Pada tahun 1980 an, di Inggris dan Italia plastik daur ulang telah digunakan untuk membuat tiang telepon sebagai pengganti tiang-tiang kayu atau besi. Di Swedia plastik daur ulang dimanfaatkan sebagai bata plastik untuk pembuatan bangunan bertingkat, karena ringan serta lebih kuat dibandingkan bata yang umum dipakai (YBP, 1986).

Pemanfaatan plastik daur ulang dalam bidang komposit kayu di Indonesia masih terbatas pada tahap penelitian. Ada dua strategi dalam pembuatan komposit kayu dengan memanfaatkan plastik, pertama plastik dijadikan sebagai binder sedangkan kayu sebagai komponen utama; kedua kayu dijadikan bahan pengisi/filler dan plastik sebagai matriksnya. Penelitian mengenai pemanfaatan plastik polipropilena daur ulang sebagai substitusi perekat termoset dalam pembuatan papan partikel telah dilakukan oleh Febrianto dkk (2001). Produk papan partikel yang dihasilkan memiliki stabilitas dimensi dan kekuatan mekanis yang tinggi dibandingkan dengan papan partikel konvensional. Penelitian plastik daur ulang sebagai matriks komposit kayu plastik dilakukan Setyawati (2003) dan Sulaeman (2003) dengan menggunakan plastik polipropilena daur ulang. Dalam pembuatan komposit kayu plastik daur ulang, beberapa polimer termoplastik dapat digunakan sebagai matriks, tetapi dibatasi oleh rendahnya temperatur permulaan dan pemanasan dekomposisi kayu (lebih kurang 200°C).

Read more...

Upaya Konservasi Lingkungan, Pemkot-ESP Rencanakan Sistem Sanitasi Komunal

Pemerintah Kota (Pemkot) Ambon bekerja sama dengan Environmental Service Program (ESP) Regional Ambon dalam jangka waktu kedepan akan mewujudkan rencana Sistem Sanitasi Komunal (SSK) di Kota Ambon. Dengan sistem yang merupakan hasil desain dari ESP ini, nantinya bebrapa rumah dalam satu kawasan, cukup memiliki satu septic tank saja.



Demikian disampaikan Walikota Ambon, Drs. M.J Papilaja, MS kepada sejumlah wartawan media cetak den elektronik, dalam acara coffee morning dan diskusi lingkungan di Walang Kopi Sibu- Sibu, Ambon pada Jumat (14/8).

Dalam acara diskusi yang juga dihadiri oleh pimpinan SKPD Lingkup Pemkot Ambon tersebut, Walikota menjelaskan bahwa proyek ini merupakan skenario konservasi lingkungan yang disipakan Pemkot dalam upaya menjaga dan meningkatkan kualitas sumber air dan upaya peyelamatan pesisir teluk daerah ini.

“Dulu kita hanya berpikir untuk membuat sistem saluran yang menampung baik air hujan dan air limbah rumah tangga. Nah, pada musim panas saluran hanya akan menampung air limbah rumah tangga, limbah ini jika masuk masuk ke got - got menimbulkan pencemaran udara, tetapi jika masuk ke sungai atau ke laut menjadi sangat berbahaya karena mengandung zat-zat kimia beracun dan membunuh biota – biota laut,” jelas Papilaja.

Dirinya menyatakan, sebuah kota seharusnya mempunyai sistem sanitasi yang terpadu dimana tidak semua limbah rumah tangga masuk kesaluran umum, namun sayangnya kota Ambon belum memiliki sistem tersebut. Oleh karena itu, saat ini Pemkot tengah bekerjasama dengan ESP untuk membuat sebuah grand design sistem yang dinamakan sistem sanitasi komunal.

“Bersama ESP kita akan mendesain SSK ini di beberapa lokasi sebagai pilot project. Nantinya realisasinya sperti ini, setiap rumah tidak perlu punya septic tank masing – masing. tetapi dibuat satu septic tank tertentu untuk beberapa rumah, sehingga untuk air limbah buangan rumah tangga, akan masuk ke saluran induk, lalu kemudian ada tempat untuk memprosesnya secara alami dan keluar sebagai air yang sudah dijamin tidak mengandung zat-zat beracun, dan aman bagi biota laut,” paparnya.

Ditambahkan, sistem ini sebenarnya dapat dengan mudah dibuat karena proses penguraian limbah rumah tangga dapat berlangsung secara alami tanpa tambahan zat kimia tertentu. Keuntungan lain yang diperoleh dari sistem ini adalah masyarakat tidak perlu menyediakan lahan di rumahnya untuk membuat septic tank.

Sementara itu, koordinator ESP Regional Ambon, Selviana J. Hehanusa, menyatakan, ESP merupakan suatu badan yang sudah bekerja selama 6 bulan di kota ambon dan concern kepada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan manangani masalah air bersih dan sanitasi lingkungan.

Sebagai bagian dari upaya realisasi SSK yang telah di presentasikan Walikota dalam Sanitasi Summit di Jakarta beberapa waktu lalu, untuk pilot project, saat ini pihak ESP telah mengajukan rancangan desain SSK di Dusun Kate – kate, Desa Hunuth-Durian Patah, Kec Baguala, namun desain 2 unit SSK yang masing - masing mengcover 150 Kepala Keluarga (KK) saat ini sedang dalam tahap revisi untuk ditingkatkan mengcover 300 KK per unitnya.

Read more...

  ©Template by Dicas Blogger.